BAB
I
LOKASI,
LINGKUNGAN ALAM DAN DEMOGRAFI
A.
Letak Astronomi
dan Geografi
Pulau Bali adalah bagian dari kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan
selebar 112 km, sekitar 3,2 km dari pulau Jawa. Pulau Bali dibagi menjadi 2,
yaitu Bali Utara dan Bali Selatan. Secara astronomis, Bali terletak di 8°25′23″
LS dan 115°14′55″ LT. Gunung api adalah titik tertinggi di Bali setinggi 3.148
m. Gunung berapi ini terakhir meletus pada bulan Maret 1963. Gunung Batur juga
salah satu gunung yang ada di Bali, sekitar 30.000 tahun yang lalu, gunung
Batur meletus dan menghasilkan bencana yang dahsyat. Berbeda dengan di bagian utara,
bagian selatan Bali adalah dataran rendah yang dialiri sungai-sungai.
B.
Topografi
Wilayah
Daerah tengah Pulau Bali terbentang pegunungan yang memanjang dari barat
ke timur dan diantara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu
Gunung Batur dan Gunung Agung serta gunung yang tidak berapi yaitu Gunung
Merbuk, Gunung Patas, dan Gunung Seraya. Adanya pegunungan tersebut menyebabkan
Daerah Bali secara Geografis terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama
yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai, dan Bali
Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kemiringan lahan Pulau Bali
terdiri dari lahan datar (2%) seluas 122.652 ha, lahan bergelombang (2-15%)
seluas 118.339 ha, lahan curam (15-40%) seluas 190.486 ha, dan lahan sangat
curam (>40%) seluas 132.189 ha. Provinsi Bali memiliki 4 (empat) buah danau
yang berlokasi di daerah pegunungan yaitu : Danau Beratan, Buyan,
Tamblingan dan Danau Batur.
C.
Demografi
Penduduk Bali kira-kira sejumlah 4 juta jiwa, dengan mayoritas 92,3%
menganut agama Hindu. Agama lainnya adalah Islam, Protestan, Katholik, dan
Budha.
D.
Iklim
Wilayah Bali termasuk daerah
beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin musim yang berganti setiap enam
bulan sekali. Daerah Bali memiliki dua musim, yaitu musim kemarau
(April--Oktober) dan musim hujan (Oktober--April ). Temperatur udara bervariasi
antara 24°Celcius
dan 30,8°Celcius. Curah hujan dalam lima
tahun terakhir bervariasi antara 893,4 mm terendah dan 2.702,6 mm tertinggi
untuk rata-rata tahunan. Kelemban udara berkisar antara 90% dan pada musim
hujan bisa mencapai 100%, sedangkan pada musim kering mencapai 60%.
BAB
II
ASAL
MULA DAN SEJARAH SUKU BALI
Suku
bangsa Bali dibagi menjadi 2 yaitu: Bali Aga atau penduduk asli Bali yang biasa
tinggal di daerah Trunyan, dan Bali Mojopahit atau Bali Hindu / keturunan Bali
yang berasal dari Majapahit.
Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa
Sansekerta berarti "Kekuatan", dan Bali" berarti
"Pengorbanan" yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita,
supaya kita selalu siap untuk berkorban.
Dahulu pulau Bali disebut dengan
nama “Walidwipa”, yang merupakan suatu kerajaan yaitu kerajaan Bali. Kerajaan
ini berkembang sekitar abad ke VIII Masehi. Pemerintahannya berpusat di Shinghamandawa,
sebuah tempat yang hingga kini belum diketahui dengan pasti. Kerajaan ini
pernah diperintah oleh dua diansti, yaitu Dinasti Warmmadewa dengan Dinasti
Sakellendukirana. Kerajaan Bali bercorak Hindu ini dapat diketahui dari
pembagian golongan dalam masyarakat (kasta), pembagian warisan, kesenian, serta
agama dan kepercayaan. Dalam hal agama dan kepercayaan, pengaruh zaman
Megalithikum terasa masih kuat pada masyarakat kerajaan Bali. Keadaan tersebut
menunjukan bahwa mayarakat Bali merupakan pemegang teguh tradisi.
Bali
mempunyai 2 pahlawan nasional yang sangat berperan dalam mempertahankan
daerahnya yaitu I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ketut Jelantik.
Warisan budaya serta agama dan
kepercayaan masih dipegang teguh hingga saat sekarang ini. Kini Bali adalah
sebuah propinsi yang berada di wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Hindu tetap menjadi agama mayoritas yang wariskan secara turun temurun.
BAB
III
BAHASA
Bali sebagian besar dalam
kehidupan sehari – hari menggunakan bahasa Bali ,sasak,
dan bahasa Indonesia. Sebagian besar masyarakat Bali
adalah bilingual atau bahkan trilingual. Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga
dan bahasa asing utama bagi masyarakat Bali yang dipengaruhi oleh kebutuhan
industri pariwisata. Bahasa Bali di bagi menjadi 2 yaitu, bahasa Aga yaitu
bahasa Bali yang pengucapannya lebih kasar, dan bahasa Bali Majapahit yaitu
bahasa yang pengucapannya lebih halus.
BAB
IV
TEKNOLOGI
Masyarakat Bali telah mengenal dan
berkembang system pengairan yaitu system subak yang mengatur pengairan dan
penanaman di sawah-sawah. Dan mereka juga sudah mengenal arsitektur yang
mengatur tata letak ruangan dan bangunan yang menyerupai bangunan Feng Shui.
Arsitektur merupakan ungkapan perlambang komunikatif dan edukatif.
Bali juga memiliki senjata
tradisional yaitu salah satunya keris. Selain untuk membela diri, menurut
kepercayaan bila keris pusaka direndam dalam air putih dapat menyembuhkan orang
yang terkena gigitan binatang berbisa.
Teknologi
transportasi di Bali sudah sangat memadai, misalnya transportasi darat. Disana
ada bus yang dipakai untuk kendaraan pengangkut penumpang antar daerah, baik
untuk jarak dekat maupun jarak jauh, bahkan ada yang di pakai untuk mengangkut
penumpang antar pulau. Lalu transportasi laut, ada yang disebut angkutan
penyembrangan Gilimanuk Ketapang yang menghubungkan Bali dengan Jawa. Disamping
itu, Bali mempunyai Bandara Internasional yang sangat baik.
BAB
V
SISTEM
MATA PENCAHARIAN
Pada umumnya
mata pencaharian masyarakat Bali di daerah kawasan wisata adalah dibidang
kesenian, sperti seni pahat atau patung, lukis, benda anyaman, kain, ukir-ukiran, percetakaan, kerajinan tangan dan lain – lain. Usaha dalam bidang ini untuk memberikan lapangan pekerjaan
pada penduduk. Tetapi tidak
semuanya, ada juga yang bergerak di bidang pertanian dan industri, misalnya
perusahaan tenun di Denpasar. Selain itu masyarakat bali
di daerah dataran yang curah hujannya yang cukup baik bermata pencaharian
mayoritas bercocok tanam, di daearah pedesaan di Bali mayoritas beternak
terutama sapi dan babi sebagai usaha penting dalam masyarakat, baik perikanan
darat maupun laut yang merupakan mata pecaharian sambilan.
BAB
VI
ORGANISASI
SOSIAL
A.
Perkawinan
Penarikan
garis keturunan dalam masyarakat Bali adalah mengarah pada patrilineal. System
kasta sangat mempengaruhi proses berlangsungnya suatu perkawinan, karena
seorang wanita yang kastanya lebih tinggi kawin dengan pria yang kastanya lebih
rendah tidak dibenarkan karena terjadi suatu penyimpangan, yaitu akan membuat
malu keluarga dan menjatuhkan gengsi seluruh kasta dari anak wanita.
Di beberapa daerah Bali ( tidak semua daerah ), berlaku pula adat penyerahan mas kawin ( petuku luh), tetapi sekarang ini terutama diantara keluarga orang-orang terpelajar, sudah menghilang.
Di beberapa daerah Bali ( tidak semua daerah ), berlaku pula adat penyerahan mas kawin ( petuku luh), tetapi sekarang ini terutama diantara keluarga orang-orang terpelajar, sudah menghilang.
B.
Kekerabatan
Adat menetap diBali sesudah menikah mempengaruhi
pergaulan kekerabatan dalam suatu masyarakat. Ada macam 2 adat menetap yang sering
berlaku diBali yaitu adat virilokal adalah adat yang membenarkan pengantin baru
menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat suami,dan adat neolokal adalah
adat yang menentukan pengantin baru tinggal sendiri ditempat kediaman yang
baru. Di Bali ada 3 kelompok klen utama (triwangsa) yaitu: Brahmana sebagai
pemimpin upacara, Ksatria yaitu : kelompok-klompok khusus seperti arya
Kepakisan dan Jaba yaitu sebagai pemimpin keagamaan.
C.
Kemasyarakatan
Desa, suatu kesatuan hidup komunitas masyarakat bali mencakup pada 2 pengertian yaitu : desa adat dan desa dinas (administratif). Keduanya merupakan suatu kesatuan wilayah dalam hubungannya dengan keagamaan atau pun adat istiadat, sedangkan desa dinas adalah kesatuan admistratif. Kegiatan desa adat terpusat pada bidang upacara adat dan keagamaan, sedangkan desa dinas terpusat pada bidang administrasi, pemerintahan dan pembangunan.
BAB
VII
SISTEM
PENGETAHUAN
Banjar atau bisa disebut sebagai desa adalah suatu
bentuk kesatuan-kesatuan social yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan
social tersebut diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara keagamaan. Banjar
dikepalahi oleh klian banjar yang bertugas sebagai menyangkut segala urusan
dalam lapangan kehidupan sosial dan keagamaan,tetapi sering kali juga harus
memecahkan soal-soal yang mencakup hukum adat tanah, dan hal-hal yang sifatnya
administrasi pemerintahan.
BAB
VIII
BUDAYA
DAN KESENIAN SUKU BALI
1.
KESENIAN
Kebudayaan kesenian di bali di golongkan 3 golongan
utama yaitu seni rupa misalnya seni lukis, seni patung, seni arsistektur, seni
pertunjukan misalnya seni tari, seni sastra, seni drama, seni musik, dan seni
audiovisual misalnya seni video dan film.
2.
NILAI-NILAI
BUDAYA
1.
Tata
krama : kebiasaan sopan santun yang di sepakati dalam lingkungan pergaulan
antar manusia di dalam kelompoknya.
2. Nguopin : gotong royong.
3. Ngayah atau ngayang : kerja bakti untuk keperluan
agama.
4.
Sopan
santun : adat hubungan dalam sopan pergaulan terhadap orang-orang yang berbeda jenis
kelamin.
3. TRADISI
Bali
merupakan pulau budaya yang kaya akan kesenian dan tradisi-tradisi suku bali
asli yang masih terjaga.
A.
Tradisi
Pengucilan Bayi Kembar Buncing di Bali
Tradisi Pengucilan Bayi Kembar
Buncing di Bali
Bali di masa lampau memang tidak adil terhadap bayi kembar buncing (dua bayi dengan jenis kelamin berbeda-pria dan wanita). Menurut mitos, jika lahir di lingkungan kerajaan, bayi kembar buncing dianggap berkah yang membawa keberuntungan. Kembar buncing di lingkungan kerajaan dibesarkan secara terpisah. Setelah mencapai dewasa, keduanya akan dipertemukan kembali dan dikawinkan sebagai suami istri. Dibandingkan dengan anak lainnya, anak kembar buncing ini memiliki tempat yang sangat terhormat di lingkungan kerajaan.
Sebaliknya, jika bayi kembar buncing lahir di luar lingkungan kerajaan, kehadiran sang bayi diyakini sebagai aib. Jika dirujuk dari dokumen sastra tua Bali, anggapan noda aib dari kembar buncing bersumber dari ajaran raja yang menjelaskan bahwa pasangan bayi kembar tersebut ketika dalam kandungan telah melakukan hubungan seksual, sehingga kehadiran kembar buncing dianggap mengganggu keharmonisan desa. Lebih dari itu, desa menjadi tercemar hingga harus dipulihkan melalui sanksi adat yang ditentukan.
Bali di masa lampau memang tidak adil terhadap bayi kembar buncing (dua bayi dengan jenis kelamin berbeda-pria dan wanita). Menurut mitos, jika lahir di lingkungan kerajaan, bayi kembar buncing dianggap berkah yang membawa keberuntungan. Kembar buncing di lingkungan kerajaan dibesarkan secara terpisah. Setelah mencapai dewasa, keduanya akan dipertemukan kembali dan dikawinkan sebagai suami istri. Dibandingkan dengan anak lainnya, anak kembar buncing ini memiliki tempat yang sangat terhormat di lingkungan kerajaan.
Sebaliknya, jika bayi kembar buncing lahir di luar lingkungan kerajaan, kehadiran sang bayi diyakini sebagai aib. Jika dirujuk dari dokumen sastra tua Bali, anggapan noda aib dari kembar buncing bersumber dari ajaran raja yang menjelaskan bahwa pasangan bayi kembar tersebut ketika dalam kandungan telah melakukan hubungan seksual, sehingga kehadiran kembar buncing dianggap mengganggu keharmonisan desa. Lebih dari itu, desa menjadi tercemar hingga harus dipulihkan melalui sanksi adat yang ditentukan.
Tindakan diskriminasi seperti ini ternyata masih berlangsung di Bali sewasa ini. Sesuai dengan aturan adatnya, Sang bayi kembar harus menanggung sanksi adat berupa pengucilan ke sebuah lokasi sepi yang sangat jauh dari perkotaan atau desa tempat tinggalnya. Masa pengucilan bayi kembar buncing itu harus dijalani selama 105 hari atau tiga bulan kalender Bali. Selama tenggang waktu itu pula orangtua bayi, tidak dibolehkan beraktivitas, melakukan perjalanan keluar Desa, ataupun mencari nafkah. Pengucilan itu sendiri bermaksud untuk dapat membersihkan aib bawaan kembar buncing.
Setelah masa pengucilan berakhir, maka akan diadakan upacara mecaru yang bertujuan untuk menyucikan bayi kembar tersebut. Namun, bukan hanya itu, terkadang orang tua muda bayi kembar buncing harus membayar denda dan rela melepas salah satu bayinya. Bayi kembar itu harus dipisahkan sehingga kelak saat dewasa mereka tak pernah tahu bahwa mereka adalah saudara kandung dan sedarah, sedangkan para warga desa diminta oleh peraturan adat untuk merahasiakannya. Yang terjadi selanjutnya adalah ketua adat akan berusaha mengawinkan keduanya menjadi sepasang suami istri, karena menurut kepercayaan warga, bayi kembar buncing memang telah dijodohkan sejak dalam rahim.
Mitos aib yang dibawa oleh kembar buncing ini tertuang dalam awig-awig (tradisi / hukum adat) yang jelas-jelas menggambarkan perlakuan tidak adil dan diskriminatif dari raja. Karenanya, mitos seperti itu harus dihapus karena menodai martabat kemanusiaan. Seperti yang kita ketahui, di mana pun di dunia ini, jika suatu hal telah menjadi mitos, maka untuk memulihkannya bukanlah pekerjaan yang mudah. Butuh pencerahan secara terus-menerus, terutama terhadap ahli waris yang masih mau mempertahankannya. Lagipula jika ditinjau lebih jauh, hukuman pengucilan itu sangat bertentangan dengan ajaran agama Hindu dan juga hak asasi manusia. Juga sangat bertentangan dengan kesepakatan Sabha II PHDI (Parisadha Hindu Dharma Indonesia) Bali tahun 1971 serta Perda Bali No 03/2001 yang semuanya berintikan himbauan kepada komunitas adat, terutama jajaran prajuru (pengurus desa adat), supaya menyesuaikan tradisi adatnya dengan hukum agama dan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Mereka harus dinikahkan (incest) bila saatnya tiba.
B. Tradisi Omed-Omedan atau Med-medan
Masyarakat
di Bali, khususnya yang berada di kawasan banjar Kaja, Sesetan Denpasar
memiliki tradisi yang cukup unik sehari setelah perayaan Hari Raya Nyepi.
Tradisi ini disebut med-medan. Menurut keyakinan masyarakat setempat, jika
tradisi med-medan ini tidak dilakukan, maka akan terjadi bencana yang sangat
merugikan masyarakat.
Di
Indonesia, berciuman di depan umum tergolong perbuatan mesum. Namun, med-medan
adalah perkecualian. Tradisi yang baru digelar di banjar Kaja ini merupakan
rangkaian peringatan Hari Raya Nyepi.
Untuk
mengikuti tradisi ini, setiap peserta terlebih dahulu harus mendaftarkan diri
ke panitia. Setelah itu, panitia yang menentukan pasangannya.
Setelah
mendapat giliran, akhirnya pasangan yang telah ditentukan itu melakukan adegan
saling berciuman. Tampak banyak peserta, terutama dari kaum wanita, merasa
malu-malu untuk melakukan adegan ciuman. Maklumlah, mereka melakukan hal itu
disaksikan khayalak ramai.
Tetua
Banjar menjelaskan acara ini merupakan tradisi sejak zaman nenek moyang dahulu
yang hingga saat ini masih terus dilestarikan oleh para generasi mudanya.
Biasanya acara ini dilaksanakan sehari setelah Hari Raya Nyepi.
Warga
Banjar Kaja meyakini acara “med–medan” ini mempunyai nilai magis, sehingga
harus terus dilestarikan. Dulu acara ini sempat dihentikan. Namun akibatnya,
banyak warga setempat menderita bencana seperti sakit.
Melihat
kejadian ini, tetua Banjar Kaja akhirnya menetapkan bahwa acara ini harus terus
dilakukan. ”Kita meyakini akan mendapat hukuman secara niskala (gaib) jika
tidak melaksanakan med–medan,” ucapnya.
Tradisi
yang disebut mesuryak atau bersorak ini sudah berlangsung puluhan tahun dan
diwariskan secara turun-temurun. Secara niskala (tidak nyata) kita memberikan
sesajen dan secara skala (nyata) kita memberikan uang.
Seusai bersembahyang bersama di pura keluarga, warga yang memiliki kemampuan ekonomi lebih langsung bergegas ke halaman depan rumah. Kemudian tuan rumah menyiapkan sejumlah uang dari berbagai pecahan, mulai Rp 500 hingga Rp 100.000, untuk dibagikan kepada warga lainnya dengan cara disebar ke udara.
Warga yang kebanyakan adalah pemuda dan anak-anak ini kemudian saling berebut untuk menyambut "hujan uang" yang disebar tuan rumah. Tak jarang dari mereka ada yang saling dorong dan berjatuhan demi mendapatkan selembar uang Rp 1.000-an hingga Rp 100.000-an.
Seusai bersembahyang bersama di pura keluarga, warga yang memiliki kemampuan ekonomi lebih langsung bergegas ke halaman depan rumah. Kemudian tuan rumah menyiapkan sejumlah uang dari berbagai pecahan, mulai Rp 500 hingga Rp 100.000, untuk dibagikan kepada warga lainnya dengan cara disebar ke udara.
Warga yang kebanyakan adalah pemuda dan anak-anak ini kemudian saling berebut untuk menyambut "hujan uang" yang disebar tuan rumah. Tak jarang dari mereka ada yang saling dorong dan berjatuhan demi mendapatkan selembar uang Rp 1.000-an hingga Rp 100.000-an.
Menurut Ketut Alit Subagia, salah seorang warga yang menjadi
tuan rumah, tradisi mesuryak ini merupakan simbol persembahan kepada leluhur
yang sudah meninggal agar mendapat tempat yang layak. "Secara niskala
(tidak nyata) kita memberikan sesajen dan secara skala (nyata) kita memberikan
uang sebagai bentuk nyata," ujar Ketut Subagia.
Bagi
sebagian warga, mereka meyakini, dengan menyebar uang saat Kuningan akan mendapat
timbal balik atau rezeki lebih karena telah membekali leluhur mereka yang sudah
meninggal.
Di Bali, ngejot artinya memberikan sesuatu (umumnya makanan)
kepada orang lain ketika kita mempunyai hajatan atau pada saat hari raya
tertentu. Mungkin hampir sama seperti di daerah lainnya di seluruh Indonesia,
di Bali juga ada tradisi ngejot ini. Sebenarnya secara umum sifat orang
Indonesia khususnya di Bali adalah tolong menolong dan saling berbagi, dan
tradisi ngejot ini adalah salah satu bukti nyata. Tradisi ngejot di Bali bisa
kita dibedakan menjadi dua yaitu ngejot ketika hari raya dan ngejot ketika
seseorang memiliki hajatan atau melaksanakan suatu upacara adat/agama tertentu.
Ngejot ketika hari raya seperti Galungan, Kuningan dan lainnya biasanya
bersifat sukarela dan lebih menyesuaikan situasi dan kondisi. Artinya apa yang
kita miliki itulah yang kita berikan pada orang lain yaitu biasanya tetangga
dan kerabat serta sanak famili. Mungkin karena di saat itu hampir semua orang
juga merayakan hari raya, jadi bisa dibilang ibarat bertukar kado karena
biasanya saling ngejot.
Di samping itu, di daerah tertentu yang majemuk, umat beragama non Hindu
juga ikut menerima jotan (barang/makanan yang diberikan waktu ngejot),
begitu juga sebaliknya ketika hari raya umat lain seperti Idul Fitri, Natal,
Waisak dan lainnya warga Hindu juga turut merasakannya. Betapa indahnya
perbedaan bukan?
Sementara itu, ngejot ketika melaksanakan suatu upacara adat/agama
seperti pawiwahan (pernikahan), mepandes/metatah (potong gigi), nelu bulanin
(tiga bulanan), odalan, otonan dan lainnya sedikit berbeda. Untuk upacara yang
tergolong besar seperti pernikahan, potong gigi, tiga bulanan, ngejot biasanya
dilaksanakan lebih formal, isi jotan sudah diatur sedemikian rupa, daftar orang
yang menerima jotan pun ada, serta yang membawakan jotan juga berpakaian adat.
Isi jotan biasanya berupa sate, nasi (dengan takaran tertentu), lawar, buah dan
lainnya. Orang yang menerima jotan biasanya per kepala keluarga, yaitu
tetangga, dan sanak keluarga dalam jangkauan tertentu. Orang yang menerima
jotan ini juga berarti diundang untuk datang menghadiri upacara tersebut.
Sedangkan untuk upacara agama yang lebih kecil seperti otonan, odalan di
merajan alit (tempat suci keluarga kecil) dan lainnya, ngejot lebih dinamis
seperti ngejot pada waktu hari raya agama. Tidak semua hari raya di Bali
diikuti tradisi ngejot, yang sudah pasti adalah hari raya Galungan, Kuningan,
Pagerwesi dan lainnya. Sedangkan hari raya Nyepi, Saraswati, dan beberapa
lainnya jarang diikuti dengan tradisi ngejot.
C. Tradisi Ngaben Tikus
Layaknya
ngaben manusia, ngaben tikus pun melalui urutan-urutan upacara yang ketat.
Setelah tikus berhasil ditangkap dan dibunuh, masing-masing ekor tikus itu
dipotong untuk diupacarai. Sarana upacaranya pun sama dengan sarana upacara
yang dipakai pada ngaben manusia. Bade untuk ngaben tikus dibuat bertumpang
tujuh. Dalam ngaben manusia, bade bertumpang tujuh biasa dipakai oleh orang
yang berkasta tri wangsa (brahmana, ksatria, waisya). Tapi itulah kreatifitas para
petani di Tabanan. Ngaben tidak digelar di kuburan, tetapi di pantai
karena laut dianggap sebagai sumber hama yang menyerang tanaman petani. Setelah
upacara pembakaran selesai dilanjutkan dengan upacara nganyut (membuang abu) ke
laut yang dipuput oleh Ida Pedanda (orang suci Hindu.
Ngaben
tikus merupakan salah satu jenis upacara Nangluk Mrana yang digelar pada
waktu-waktu tertentu oleh para petani di Bali. Ngaben tikus telah ada
berabad-abad lalu ketika Bali masih mengalami jaman kerajaan. Pada saat itu
raja beserta rakyatnya bersatu padu menggelar ngaben tikus yang bertujuan untuk
mengusir dan membasmi hama tikus yang menyerang sawah petani.
Ngaben
tikus adalah warisan kebudayaan agraris yang pernah ada di Bali, dan bertahan
terus hingga sekarang. Kebudayan agraris di Bali bersumber pada alam pikiran
mistis dimana animisme, dinamisme dan budaya Hindu
bercampur baur melahirkan ritual-ritual, kesenian, tata sosial, tata nilai, dan
unsur-unsur budaya lainnya. Ngaben tikus masih dapat
disaksikan pada waktu-waktu tertentu di daerah-daerah yang kebudayaan
agrarisnya masih kuat, seperti di Tabanan dan Badung.
BAB
IX
SISTEM
RELIGI
Agama
yang di anut oleh sebagian orang Bali adalah agama Hindu sekitar 95%, dari
jumlah penduduk Bali, sedangkan sisanya 5% adalah penganut agama Islam,
Kristen, Katholik, Budha, dan Kong Hu Cu. Tujuan hidup ajaran Hindu adalah
untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup lahir dan batin.orang Hindu
percaya adanya 1 Tuhan dalam bentuk konsep Trimurti, yaitu wujud Brahmana (sang
pencipta), wujud Wisnu (sang pelindung dan pemelihara), serta wujud Siwa (sang
perusak). Tempat beribadah dibali disebut pura. Tempat-tempat pemujaan leluhur
disebut sangga. Kitab suci agama Hindu adalah weda yang berasal dari India.
Orang
yang meninggal dunia pada orang Hindu diadakan upacara Ngaben yang dianggap
sanggat penting untuk membebaskan arwah orang yang telah meninggal dunia dari
ikatan-ikatan duniawinya menuju surga. Ngaben itu sendiri adalah upacara
pembakaran mayat. Hari raya umat agama hindu adalah Nyepi yang pelaksanaannya
pada perayaan tahun baru saka pada tanggal 1 dari bulan 10 (kedasa), selain itu
ada juga hari raya galungan, kuningan, saras wati, tumpek landep, tumpek uduh,
dan siwa ratri.
Pedoman
dalam ajaran agama Hindu yakni : (1).tattwa (filsafat agama), (2). Etika
(susila), (3).Upacara (yadnya). Dibali ada 5 macam upacara (panca yadnya),
yaitu (1). Manusia Yadnya yaitu upacara masa kehamilan sampai masa dewasa. (2).
Pitra Yadnya yaitu upacara yang ditujukan kepada roh-roh leluhur. (3).Dewa
Yadnya yaitu upacara yang diadakan di pura / kuil keluarga.(4).Rsi yadnya
yaituupacara dalam rangka pelantikan seorang pendeta. (5). Bhuta yadnya yaitu
upacara untuk roh-roh halus disekitar manusia yang mengganggu manusia.
BAB
X
KESIMPULAN
Dalam
penulisan karya tulis ini, penulis tidak menutup mata akan segala kekurangannya
baik bahasa maupun penulisannya. Hal ini tidak lain karena keterbatasan penulis
dalam ilmu pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki sekalipun demikian mudah –
mudahan karya tulis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan umumnya bagi pembaca
Jadi secara
garis besar suku bangsa Bali merupakan suatu suku bangsa yang memiliki potensi
kebudayaan yang sangat tinggi dan sebagai sumber devisa tertinggi di negara Indonesia.
Indonesia memiliki banyak kebudayaan alangkah lebih baik jika kebudayaan itu
kita jaga dan lestarikan bersama sebagai citra bangsa Indonesia
1 komentar:
ijin copy untuk tugas
but nice (y)
Posting Komentar