"WELCOME"

~An angel not always look like an angel~

9 Nov 2011

Makalah Pulau Bali


BAB I
LOKASI, LINGKUNGAN ALAM DAN DEMOGRAFI


A.    Letak Astronomi dan Geografi
Pulau Bali adalah bagian dari kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km, sekitar 3,2 km dari pulau Jawa. Pulau Bali dibagi menjadi 2, yaitu Bali Utara dan Bali Selatan. Secara astronomis, Bali terletak di 8°25′23″ LS dan 115°14′55″ LT. Gunung api adalah titik tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Gunung berapi ini terakhir meletus pada bulan Maret 1963. Gunung Batur juga salah satu gunung yang ada di Bali, sekitar 30.000 tahun yang lalu, gunung Batur meletus dan menghasilkan bencana yang dahsyat. Berbeda dengan di bagian utara, bagian selatan Bali adalah dataran rendah yang dialiri sungai-sungai.

B.     Topografi Wilayah
Daerah tengah Pulau Bali terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur dan diantara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu Gunung Batur dan Gunung Agung serta gunung yang tidak berapi yaitu Gunung Merbuk, Gunung Patas, dan Gunung Seraya. Adanya pegunungan tersebut menyebabkan Daerah Bali secara Geografis terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai, dan Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kemiringan lahan Pulau Bali terdiri dari lahan datar (2%) seluas 122.652 ha, lahan bergelombang (2-15%) seluas 118.339 ha, lahan curam (15-40%) seluas 190.486 ha, dan lahan sangat curam (>40%) seluas 132.189 ha. Provinsi Bali memiliki 4 (empat) buah danau yang berlokasi di daerah pegunungan yaitu : Danau Beratan, Buyan, Tamblingan dan Danau Batur.

C.    Demografi
Penduduk Bali kira-kira sejumlah 4 juta jiwa, dengan mayoritas 92,3% menganut agama Hindu. Agama lainnya adalah Islam, Protestan, Katholik, dan Budha.

D.    Iklim
Wilayah Bali termasuk daerah beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin musim yang berganti setiap enam bulan sekali. Daerah Bali memiliki dua musim, yaitu musim kemarau (April--Oktober) dan musim hujan (Oktober--April ). Temperatur udara bervariasi antara 24°Celcius dan 30,8°Celcius. Curah hujan dalam lima tahun terakhir bervariasi antara 893,4 mm terendah dan 2.702,6 mm tertinggi untuk rata-rata tahunan. Kelemban udara berkisar antara 90% dan pada musim hujan bisa mencapai 100%, sedangkan pada musim kering mencapai 60%.


 


BAB II
ASAL MULA DAN SEJARAH SUKU BALI


Suku bangsa Bali dibagi menjadi 2 yaitu: Bali Aga atau penduduk asli Bali yang biasa tinggal di daerah Trunyan, dan Bali Mojopahit atau Bali Hindu / keturunan Bali yang berasal dari Majapahit.
     Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta berarti "Kekuatan", dan Bali" berarti "Pengorbanan" yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita, supaya kita selalu siap untuk berkorban.
Dahulu pulau Bali disebut dengan nama “Walidwipa”, yang merupakan suatu kerajaan yaitu kerajaan Bali. Kerajaan ini berkembang sekitar abad ke VIII Masehi. Pemerintahannya berpusat di Shinghamandawa, sebuah tempat yang hingga kini belum diketahui dengan pasti. Kerajaan ini pernah diperintah oleh dua diansti, yaitu Dinasti Warmmadewa dengan Dinasti Sakellendukirana. Kerajaan Bali bercorak Hindu ini dapat diketahui dari pembagian golongan dalam masyarakat (kasta), pembagian warisan, kesenian, serta agama dan kepercayaan. Dalam hal agama dan kepercayaan, pengaruh zaman Megalithikum terasa masih kuat pada masyarakat kerajaan Bali. Keadaan tersebut menunjukan bahwa mayarakat Bali merupakan pemegang teguh tradisi.
Bali mempunyai 2 pahlawan nasional yang sangat berperan dalam mempertahankan daerahnya yaitu I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ketut Jelantik.
Warisan budaya serta agama dan kepercayaan masih dipegang teguh hingga saat sekarang ini. Kini Bali adalah sebuah propinsi yang berada di wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Hindu tetap menjadi agama mayoritas yang wariskan secara turun temurun.




 
BAB III
BAHASA


Bali sebagian besar dalam kehidupan sehari – hari menggunakan bahasa Bali ,sasak, dan bahasa Indonesia. Sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga dan bahasa asing utama bagi masyarakat Bali yang dipengaruhi oleh kebutuhan industri pariwisata. Bahasa Bali di bagi menjadi 2 yaitu, bahasa Aga yaitu bahasa Bali yang pengucapannya lebih kasar, dan bahasa Bali Majapahit yaitu bahasa yang pengucapannya lebih halus.





BAB IV
TEKNOLOGI


Masyarakat Bali telah mengenal dan berkembang system pengairan yaitu system subak yang mengatur pengairan dan penanaman di sawah-sawah. Dan mereka juga sudah mengenal arsitektur yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan yang menyerupai bangunan Feng Shui. Arsitektur merupakan ungkapan perlambang komunikatif dan edukatif.
Bali juga memiliki senjata tradisional yaitu salah satunya keris. Selain untuk membela diri, menurut kepercayaan bila keris pusaka direndam dalam air putih dapat menyembuhkan orang yang terkena gigitan binatang berbisa.
Teknologi transportasi di Bali sudah sangat memadai, misalnya transportasi darat. Disana ada bus yang dipakai untuk kendaraan pengangkut penumpang antar daerah, baik untuk jarak dekat maupun jarak jauh, bahkan ada yang di pakai untuk mengangkut penumpang antar pulau. Lalu transportasi laut, ada yang disebut angkutan penyembrangan Gilimanuk Ketapang yang menghubungkan Bali dengan Jawa. Disamping itu, Bali mempunyai Bandara Internasional yang sangat baik.


 
 

BAB V
SISTEM MATA PENCAHARIAN


Pada umumnya mata pencaharian masyarakat Bali di daerah kawasan wisata adalah dibidang kesenian, sperti seni pahat atau patung, lukis, benda anyaman, kain, ukir-ukiran, percetakaan,  kerajinan tangan dan lain – lain. Usaha dalam bidang ini untuk memberikan lapangan pekerjaan pada penduduk.  Tetapi tidak semuanya, ada juga yang bergerak di bidang pertanian dan industri, misalnya perusahaan tenun di Denpasar. Selain itu masyarakat bali di daerah dataran yang curah hujannya yang cukup baik bermata pencaharian mayoritas bercocok tanam, di daearah pedesaan di Bali mayoritas beternak terutama sapi dan babi sebagai usaha penting dalam masyarakat, baik perikanan darat maupun laut yang merupakan mata pecaharian sambilan.





BAB VI
ORGANISASI SOSIAL


A.    Perkawinan

Penarikan garis keturunan dalam masyarakat Bali adalah mengarah pada patrilineal. System kasta sangat mempengaruhi proses berlangsungnya suatu perkawinan, karena seorang wanita yang kastanya lebih tinggi kawin dengan pria yang kastanya lebih rendah tidak dibenarkan karena terjadi suatu penyimpangan, yaitu akan membuat malu keluarga dan menjatuhkan gengsi seluruh kasta dari anak wanita.
Di beberapa daerah Bali ( tidak semua daerah ), berlaku pula adat penyerahan mas kawin ( petuku luh), tetapi sekarang ini terutama diantara keluarga orang-orang terpelajar, sudah menghilang.

B.     Kekerabatan

Adat menetap diBali sesudah menikah mempengaruhi pergaulan kekerabatan dalam suatu masyarakat. Ada macam 2 adat menetap yang sering berlaku diBali yaitu adat virilokal adalah adat yang membenarkan pengantin baru menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat suami,dan adat neolokal adalah adat yang menentukan pengantin baru tinggal sendiri ditempat kediaman yang baru. Di Bali ada 3 kelompok klen utama (triwangsa) yaitu: Brahmana sebagai pemimpin upacara, Ksatria yaitu : kelompok-klompok khusus seperti arya Kepakisan dan Jaba yaitu sebagai pemimpin keagamaan.

C.    Kemasyarakatan

     Desa, suatu kesatuan hidup komunitas masyarakat bali mencakup pada 2 pengertian yaitu : desa adat dan desa dinas (administratif). Keduanya merupakan suatu kesatuan wilayah dalam hubungannya dengan keagamaan atau pun adat istiadat, sedangkan desa dinas adalah kesatuan admistratif. Kegiatan desa adat terpusat pada bidang upacara adat dan keagamaan, sedangkan desa dinas terpusat pada bidang administrasi, pemerintahan dan pembangunan.





BAB VII
SISTEM PENGETAHUAN


Banjar atau bisa disebut sebagai desa adalah suatu bentuk kesatuan-kesatuan social yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan social tersebut diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara keagamaan. Banjar dikepalahi oleh klian banjar yang bertugas sebagai menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dan keagamaan,tetapi sering kali juga harus memecahkan soal-soal yang mencakup hukum adat tanah, dan hal-hal yang sifatnya administrasi pemerintahan.





BAB VIII
BUDAYA DAN KESENIAN SUKU BALI


1.      KESENIAN

Kebudayaan kesenian di bali di golongkan 3 golongan utama yaitu seni rupa misalnya seni lukis, seni patung, seni arsistektur, seni pertunjukan misalnya seni tari, seni sastra, seni drama, seni musik, dan seni audiovisual misalnya seni video dan film.


2.      NILAI-NILAI BUDAYA

1.      Tata krama : kebiasaan sopan santun yang di sepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia di dalam kelompoknya.
2.      Nguopin : gotong royong.
3.      Ngayah atau ngayang : kerja bakti untuk keperluan agama.
4.      Sopan santun : adat hubungan dalam sopan pergaulan terhadap orang-orang yang berbeda jenis kelamin.


3.      TRADISI

Bali merupakan pulau budaya yang kaya akan kesenian dan tradisi-tradisi suku bali asli yang masih terjaga.

A.    Tradisi Pengucilan Bayi Kembar Buncing di Bali

Tradisi Pengucilan Bayi Kembar Buncing di Bali
Bali di masa lampau memang tidak adil terhadap bayi kembar buncing (dua bayi dengan jenis kelamin berbeda-pria dan wanita). Menurut mitos, jika lahir di lingkungan kerajaan, bayi kembar buncing dianggap berkah yang membawa keberuntungan. Kembar buncing di lingkungan kerajaan dibesarkan secara terpisah. Setelah mencapai dewasa, keduanya akan dipertemukan kembali dan dikawinkan sebagai suami istri. Dibandingkan dengan anak lainnya, anak kembar buncing ini memiliki tempat yang sangat terhormat di lingkungan kerajaan.
      Sebaliknya, jika bayi kembar buncing lahir di luar lingkungan kerajaan, kehadiran sang bayi diyakini sebagai aib. Jika dirujuk dari dokumen sastra tua Bali, anggapan noda aib dari kembar buncing bersumber dari ajaran raja yang menjelaskan bahwa pasangan bayi kembar tersebut ketika dalam kandungan telah melakukan hubungan seksual, sehingga kehadiran kembar buncing dianggap mengganggu keharmonisan desa. Lebih dari itu, desa menjadi tercemar hingga harus dipulihkan melalui sanksi adat yang ditentukan.

      Tindakan diskriminasi seperti ini ternyata masih berlangsung di Bali sewasa ini. Sesuai dengan aturan adatnya, Sang bayi kembar harus menanggung sanksi adat berupa pengucilan ke sebuah lokasi sepi yang sangat jauh dari perkotaan atau desa tempat tinggalnya. Masa pengucilan bayi kembar buncing itu harus dijalani selama 105 hari atau tiga bulan kalender Bali. Selama tenggang waktu itu pula orangtua bayi, tidak dibolehkan beraktivitas, melakukan perjalanan keluar Desa, ataupun mencari nafkah. Pengucilan itu sendiri bermaksud untuk dapat membersihkan aib bawaan kembar buncing.

      Setelah masa pengucilan berakhir, maka akan diadakan upacara mecaru yang bertujuan untuk menyucikan bayi kembar tersebut. Namun, bukan hanya itu, terkadang orang tua muda bayi kembar buncing harus membayar denda dan rela melepas salah satu bayinya. Bayi kembar itu harus dipisahkan sehingga kelak saat dewasa mereka tak pernah tahu bahwa mereka adalah saudara kandung dan sedarah, sedangkan para warga desa diminta oleh peraturan adat untuk merahasiakannya. Yang terjadi selanjutnya adalah ketua adat akan berusaha mengawinkan keduanya menjadi sepasang suami istri, karena menurut kepercayaan warga, bayi kembar buncing memang telah dijodohkan sejak dalam rahim.

      Mitos aib yang dibawa oleh kembar buncing ini tertuang dalam awig-awig (tradisi / hukum adat) yang jelas-jelas menggambarkan perlakuan tidak adil dan diskriminatif dari raja. Karenanya, mitos seperti itu harus dihapus karena menodai martabat kemanusiaan. Seperti yang kita ketahui, di mana pun di dunia ini, jika suatu hal telah menjadi mitos, maka untuk memulihkannya bukanlah pekerjaan yang mudah. Butuh pencerahan secara terus-menerus, terutama terhadap ahli waris yang masih mau mempertahankannya. Lagipula jika ditinjau lebih jauh, hukuman pengucilan itu sangat bertentangan dengan ajaran agama Hindu dan juga hak asasi manusia. Juga sangat bertentangan dengan kesepakatan Sabha II PHDI (Parisadha Hindu Dharma Indonesia) Bali tahun 1971 serta Perda Bali No 03/2001 yang semuanya berintikan himbauan kepada komunitas adat, terutama jajaran prajuru (pengurus desa adat), supaya menyesuaikan tradisi adatnya dengan hukum agama dan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Mereka harus dinikahkan (incest) bila saatnya tiba.

B.     Tradisi Omed-Omedan atau Med-medan
Masyarakat di Bali, khususnya yang berada di kawasan banjar Kaja, Sesetan Denpasar memiliki tradisi yang cukup unik sehari setelah perayaan Hari Raya Nyepi. Tradisi ini disebut med-medan. Menurut keyakinan masyarakat setempat, jika tradisi med-medan ini tidak dilakukan, maka akan terjadi bencana yang sangat merugikan masyarakat.
Di Indonesia, berciuman di depan umum tergolong perbuatan mesum. Namun, med-medan adalah perkecualian. Tradisi yang baru digelar di banjar Kaja ini merupakan rangkaian peringatan Hari Raya Nyepi.

Untuk mengikuti tradisi ini, setiap peserta terlebih dahulu harus mendaftarkan diri ke panitia. Setelah itu, panitia yang menentukan pasangannya.
Setelah mendapat giliran, akhirnya pasangan yang telah ditentukan itu melakukan adegan saling berciuman. Tampak banyak peserta, terutama dari kaum wanita, merasa malu-malu untuk melakukan adegan ciuman. Maklumlah, mereka melakukan hal itu disaksikan khayalak ramai.
Tetua Banjar menjelaskan acara ini merupakan tradisi sejak zaman nenek moyang dahulu yang hingga saat ini masih terus dilestarikan oleh para generasi mudanya. Biasanya acara ini dilaksanakan sehari setelah Hari Raya Nyepi.
Warga Banjar Kaja meyakini acara “med–medan” ini mempunyai nilai magis, sehingga harus terus dilestarikan. Dulu acara ini sempat dihentikan. Namun akibatnya, banyak warga setempat menderita bencana seperti sakit.
Melihat kejadian ini, tetua Banjar Kaja akhirnya menetapkan bahwa acara ini harus terus dilakukan. ”Kita meyakini akan mendapat hukuman secara niskala (gaib) jika tidak melaksanakan med–medan,” ucapnya.
         Tradisi yang disebut mesuryak atau bersorak ini sudah berlangsung puluhan tahun dan diwariskan secara turun-temurun. Secara niskala (tidak nyata) kita memberikan sesajen dan secara skala (nyata) kita memberikan uang.
         Seusai bersembahyang bersama di pura keluarga, warga yang memiliki kemampuan ekonomi lebih langsung bergegas ke halaman depan rumah. Kemudian tuan rumah menyiapkan sejumlah uang dari berbagai pecahan, mulai Rp 500 hingga Rp 100.000, untuk dibagikan kepada warga lainnya dengan cara disebar ke udara.
         Warga yang kebanyakan adalah pemuda dan anak-anak ini kemudian saling berebut untuk menyambut "hujan uang" yang disebar tuan rumah. Tak jarang dari mereka ada yang saling dorong dan berjatuhan demi mendapatkan selembar uang Rp 1.000-an hingga Rp 100.000-an.
         Menurut Ketut Alit Subagia, salah seorang warga yang menjadi tuan rumah, tradisi mesuryak ini merupakan simbol persembahan kepada leluhur yang sudah meninggal agar mendapat tempat yang layak. "Secara niskala (tidak nyata) kita memberikan sesajen dan secara skala (nyata) kita memberikan uang sebagai bentuk nyata," ujar Ketut Subagia.
         Bagi sebagian warga, mereka meyakini, dengan menyebar uang saat Kuningan akan mendapat timbal balik atau rezeki lebih karena telah membekali leluhur mereka yang sudah meninggal.
Di Bali, ngejot artinya memberikan sesuatu (umumnya makanan) kepada orang lain ketika kita mempunyai hajatan atau pada saat hari raya tertentu. Mungkin hampir sama seperti di daerah lainnya di seluruh Indonesia, di Bali juga ada tradisi ngejot ini. Sebenarnya secara umum sifat orang Indonesia khususnya di Bali adalah tolong menolong dan saling berbagi, dan tradisi ngejot ini adalah salah satu bukti nyata. Tradisi ngejot di Bali bisa kita dibedakan menjadi dua yaitu ngejot ketika hari raya dan ngejot ketika seseorang memiliki hajatan atau melaksanakan suatu upacara adat/agama tertentu.
Ngejot ketika hari raya seperti Galungan, Kuningan dan lainnya biasanya bersifat sukarela dan lebih menyesuaikan situasi dan kondisi. Artinya apa yang kita miliki itulah yang kita berikan pada orang lain yaitu biasanya tetangga dan kerabat serta sanak famili. Mungkin karena di saat itu hampir semua orang juga merayakan hari raya, jadi bisa dibilang ibarat bertukar kado karena biasanya saling ngejot.
Di samping itu, di daerah tertentu yang majemuk, umat beragama non Hindu juga ikut menerima jotan (barang/makanan yang diberikan waktu ngejot),  begitu juga sebaliknya ketika hari raya umat lain seperti Idul Fitri, Natal, Waisak dan lainnya warga Hindu juga turut merasakannya. Betapa indahnya perbedaan bukan?
Sementara itu, ngejot ketika melaksanakan suatu upacara adat/agama seperti pawiwahan (pernikahan), mepandes/metatah (potong gigi), nelu bulanin (tiga bulanan), odalan, otonan dan lainnya sedikit berbeda. Untuk upacara yang tergolong besar seperti pernikahan, potong gigi, tiga bulanan, ngejot biasanya dilaksanakan lebih formal, isi jotan sudah diatur sedemikian rupa, daftar orang yang menerima jotan pun ada, serta yang membawakan jotan juga berpakaian adat. Isi jotan biasanya berupa sate, nasi (dengan takaran tertentu), lawar, buah dan lainnya. Orang yang menerima jotan biasanya per kepala keluarga, yaitu tetangga, dan sanak keluarga dalam jangkauan tertentu. Orang yang menerima jotan ini juga berarti diundang untuk datang menghadiri upacara tersebut.
Sedangkan untuk upacara agama yang lebih kecil seperti otonan, odalan di merajan alit (tempat suci keluarga kecil) dan lainnya, ngejot lebih dinamis seperti ngejot pada waktu hari raya agama. Tidak semua hari raya di Bali diikuti tradisi ngejot, yang sudah pasti adalah hari raya Galungan, Kuningan, Pagerwesi dan lainnya. Sedangkan hari raya Nyepi, Saraswati, dan beberapa lainnya jarang diikuti dengan tradisi ngejot.

C.    Tradisi Ngaben Tikus
      Layaknya ngaben manusia, ngaben tikus pun melalui urutan-urutan upacara yang ketat. Setelah tikus berhasil ditangkap dan dibunuh, masing-masing ekor tikus itu dipotong untuk diupacarai. Sarana upacaranya pun sama dengan sarana upacara yang dipakai pada ngaben manusia. Bade untuk ngaben tikus dibuat bertumpang tujuh. Dalam ngaben manusia, bade bertumpang tujuh biasa dipakai oleh orang yang berkasta tri wangsa (brahmana, ksatria, waisya). Tapi itulah kreatifitas para petani di Tabanan. Ngaben tidak digelar di kuburan, tetapi di pantai karena laut dianggap sebagai sumber hama yang menyerang tanaman petani. Setelah upacara pembakaran selesai dilanjutkan dengan upacara nganyut (membuang abu) ke laut yang dipuput oleh Ida Pedanda (orang suci Hindu.
      Ngaben tikus merupakan salah satu jenis upacara Nangluk Mrana yang digelar pada waktu-waktu tertentu oleh para petani di Bali. Ngaben tikus telah ada berabad-abad lalu ketika Bali masih mengalami jaman kerajaan. Pada saat itu raja beserta rakyatnya bersatu padu menggelar ngaben tikus yang bertujuan untuk mengusir dan membasmi hama tikus yang menyerang sawah petani.
      Ngaben tikus adalah warisan kebudayaan agraris yang pernah ada di Bali, dan bertahan terus hingga sekarang. Kebudayan agraris di Bali bersumber pada alam pikiran mistis dimana animisme, dinamisme dan budaya Hindu bercampur baur melahirkan ritual-ritual, kesenian, tata sosial, tata nilai, dan unsur-unsur budaya lainnya. Ngaben tikus masih dapat disaksikan pada waktu-waktu tertentu di daerah-daerah yang kebudayaan agrarisnya masih kuat, seperti di Tabanan dan Badung.


BAB IX
SISTEM RELIGI


Agama yang di anut oleh sebagian orang Bali adalah agama Hindu sekitar 95%, dari jumlah penduduk Bali, sedangkan sisanya 5% adalah penganut agama Islam, Kristen, Katholik, Budha, dan Kong Hu Cu. Tujuan hidup ajaran Hindu adalah untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup lahir dan batin.orang Hindu percaya adanya 1 Tuhan dalam bentuk konsep Trimurti, yaitu wujud Brahmana (sang pencipta), wujud Wisnu (sang pelindung dan pemelihara), serta wujud Siwa (sang perusak). Tempat beribadah dibali disebut pura. Tempat-tempat pemujaan leluhur disebut sangga. Kitab suci agama Hindu adalah weda yang berasal dari India.
Orang yang meninggal dunia pada orang Hindu diadakan upacara Ngaben yang dianggap sanggat penting untuk membebaskan arwah orang yang telah meninggal dunia dari ikatan-ikatan duniawinya menuju surga. Ngaben itu sendiri adalah upacara pembakaran mayat. Hari raya umat agama hindu adalah Nyepi yang pelaksanaannya pada perayaan tahun baru saka pada tanggal 1 dari bulan 10 (kedasa), selain itu ada juga hari raya galungan, kuningan, saras wati, tumpek landep, tumpek uduh, dan siwa ratri.
Pedoman dalam ajaran agama Hindu yakni : (1).tattwa (filsafat agama), (2). Etika (susila), (3).Upacara (yadnya). Dibali ada 5 macam upacara (panca yadnya), yaitu (1). Manusia Yadnya yaitu upacara masa kehamilan sampai masa dewasa. (2). Pitra Yadnya yaitu upacara yang ditujukan kepada roh-roh leluhur. (3).Dewa Yadnya yaitu upacara yang diadakan di pura / kuil keluarga.(4).Rsi yadnya yaituupacara dalam rangka pelantikan seorang pendeta. (5). Bhuta yadnya yaitu upacara untuk roh-roh halus disekitar manusia yang mengganggu manusia.





BAB X
KESIMPULAN


Dalam penulisan karya tulis ini, penulis tidak menutup mata akan segala kekurangannya baik bahasa maupun penulisannya. Hal ini tidak lain karena keterbatasan penulis dalam ilmu pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki sekalipun demikian mudah – mudahan karya tulis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan umumnya bagi pembaca
Jadi secara garis besar suku bangsa Bali merupakan suatu suku bangsa yang memiliki potensi kebudayaan yang sangat tinggi dan sebagai sumber devisa tertinggi di negara Indonesia. Indonesia memiliki banyak kebudayaan alangkah lebih baik jika kebudayaan itu kita jaga dan lestarikan bersama sebagai citra bangsa Indonesia

1 komentar:

NurSyid mengatakan...

ijin copy untuk tugas
but nice (y)

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management